modern dan industrialisasi
I.
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan
zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir
post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau
dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak
pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat
kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran
akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap
pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya
dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai
penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar
bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan
kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
Lokalitas kebudayaan karenanya
menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru.
Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari
berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus
mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal
sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial merupakan bagian
dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya.
Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk
menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar
terjadinya revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual.
Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci
kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Salah satu bentuk perubahan sosial yang tidak bisa
ditolak oleh peradaban manusia di seluruh dunia adalah masuknya modernitas
sebagai gaya hidup manusia. Modernitas memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam kehidupan manusia, karena kedatangannya membawa sistem politik, sosial,
ekonomi yang baru dan terkadang berbenturan dengan pola hidup yang sudah ada
(status quo). Salah satu bentuk pengaruh modernitas dalam kehidupan manusia
adalah munculnya industrialisasi.
Dalam makalah ini kami akan mencoba mengupas dan
menganalisis modernitas dan industrialisasi. Bagaimana konsepnya, relasi antar
keduanya dan dampak keduanya terhadap kehidupan manusia.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana konsep modern dan
industrialisasi?
B. Apa tahapan industrialisasi?
C. Bagaimana hubungan modernitas dengan
industrialisasi?
D. Apa dampak dari industrialisasi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Modern dan Industrialisasi
Modernisasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari corak kehidupan
masyarakat yang “tradisional” menjadi “modern”, terutama berkaitan dengan
teknologi dan organisasi sosial. Teori modernisasi dibangun di atas asumsi dan
konsep-konsep evolusi bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah (linier),
progresif dan berlangsung perlahan-lahan, yang membawa masyarakat dari tahapan
yang primitif kepada keadaan yang lebih maju.[1]
Istilah modern berasal dari kata “modo” yang artinya “yang kini” (just
now). Dengan demikian masyarakat dinyatakan modern apabila para warganya hidup
dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak, teknologi serta
organisasi sosial yang baru, yang sesuai dengan konstelasi zaman sekarang.
Contoh masyarakat modern adalah masyarakat kota.[2]
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan
mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang
bermutu tinggi dalam penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan
perekayasaan industri.[3] Dengan demikian,
industri merupakan bagian dari proses produksi. Bahan-bahan industri diambil
secara langsung maupun tidak langsung, kemudian diolah, sehingga menghasilkan
barang yang bernilai lebih bagi masyarakat. Kegiatan proses produksi dalam
industri itu disebut dengan perindustrian.
Dari
definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur
(manufacturing). Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut
semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan
komersial.[4]
Karena merupakan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri
berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat
perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan
macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut. Cara
penggolongan atau pengklasifikasian industri pun berbeda-beda. Tetapi pada
dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan
bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang
digunakan. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
suatu negara juga turut menentukan keanekaragaman industri negara tersebut,
semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka
semakin beranekaragam jenis industrinya.
B.
Tahapan Industrialisasi
Ada
dua teori besar tentang industrialisasi di negara berkembang yang banyak
diajarkan di bangku kuliah. Teori pertama dikemukakan oleh Prof Raymond Vernon
(1966), sedangkan teori kedua dikemukakan oleh Prof Michael Porter (1990).[5]
Keduanya
dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Raymond Vernon mengemukakan teori
daur hidup produk internasional (international product life cycle theory).
Bertolak dari keyakinan bahwa inovasi membutuhkan biaya besar dan hanya
konsumen berpendapatan tinggi yang mampu membayarnya,maka terobosan industrial
cenderung terjadi di negara maju (negara kaya). Dengan berjalannya waktu dan
hasil inovasi menjadi baku (terstandardisasi), aspek biaya produksi menjadi
semakin menentukan daya saing. Mengingat rata-rata upah di negara berkembang
jauh lebih rendah dibanding negara maju, maka tanpa diminta pun para pengusaha
dari negara maju akan memindahkan usahanya ke negara berkembang.[6]
Para
pengusaha negara maju tersebut terus berkonsentrasi untuk menciptakan inovasi
baru dan masuk pada industri-industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Jadi, negara berkembang sepantasnya memiliki ilmu ”tahu diri”dalam program
industrialisasi. Industri-industri padat karya, padat sumber daya alam, dan
memiliki potensi polusi yang tinggi, biasanya yang akan lebih dulu digeser ke
negara berkembang. Negara maju hanya akan mengimpor produk jadi dari
industri-industri tersebut. Dengan demikian, negara maju tetap dapat menikmati
produk tersebut dengan harga lebih murah, tetapi konsekuensi negatifnya dapat
dihindari.
Prof
Michael Porter membagi tahapan industrialisasi menjadi tiga, yaitu tahap factor
driven (digerakkan oleh ketersediaan faktor produksi), tahap investment driven
(didorong oleh kekuatan investasi) dan tahap innovation driven (dimotori
kemampuan inovasi).[7]
Pada awalnya, industrialisasi lebih mengandalkan pada upah buruh rendah dan
ketersediaan sumber daya yang berlimpah. Setelah itu laju industrialisasi lebih
ditentukan oleh faktor investasi. Sebagian besar negara berkembang seperti
Indonesia, Malaysia dan Thailand sedang dalam tahap transisi dari factor driven
menuju investment driven. Sejumlah negara berkembang lain seperti Korea Selatan
dan Taiwan telah masuk ke tahap innovation driven.
Itu
sebabnya, persaingan antar negara berkembang yang paling menonjol saat ini
adalah persaingan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif agar para
investor dapat bergerak leluasa di negara-negara tersebut. Bermacam cara
dilakukan, dari deregulasi sampai pemberian insentif besar-besaran. Tak ada
negara yang mau ketinggalan dalam perlombaan memberi kemudahan dan kenyamanan
untuk investasi ini. Negara yang peraturannya berbelit- belit, birokrasinya
ruwet, korupsinya meluas, kualitas sumber daya manusianya rendah, dan
infrastruktur bisnisnya parah, tak akan banyak menarik investor. Yang akan
terjadi adalah lingkaran setan (vicious circle) ekonomi biaya tinggi.Investor
akan memilih negara lain sebagai basis produksinya.[8]
Bila
suatu negara gagal memotong siklus ekonomi biaya tinggi,maka sesungguhnya
negara tersebut terancam bahaya deindustrialisasi. Membanjirnya produk impor di
pasar, cukup banyaknya perusahaan yang melakukan relokasi pabrik atau pindah ke
luar negeri, semakin menurunnya pertumbuhan industri manufaktur dan pembentukan
nilai tambah sektor industri, semakin menurunnya pekerja formal di sektor
industri, adalah beberapa indikator untuk menilai terjadi atau tidaknya proses
deindustrialisasi.
Tak
ada negara yang dapat menjadi pemain utama untuk semua jenis industri.
Pilihan-pilihan harus dilakukan. Atas dasar analisis yang akurat, kita harus
memilih sejumlah industri andalan dan tuntas (allout) untuk mengembangkannya.
Realisasi strategi yang demikian harus dikawal oleh peran dan regulasi
pemerintah secara konsisten. Memang ada pihak yang berpendapat, dalam konteks
Indonesia dengan sebagian besar pelaku usahanya bermental pedagang (trading
mentality) yang cenderung memiliki horizon jangka pendek dalam keputusan
investasinya, kita tidak bisa berharap banyak.
C.
Hubungan Modernitas dengan Industrialisasi
Negara-negara
yang baru merdeka termasuk Indonesia, pada umumnya berada dalam situasi yang
kurang lebih sama, yaitu kehidupan sosial ekonomi yang merana akibat penjajahan,
tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, keadaan pendidikan yang menyedihkan,
kondisi kesehatan yang parah dan sebagainya yang pada pokoknya dapat disebut
sebagai suatu keadaan yang tertinggal dari kemajuan. Dengan kenyataan seperti
itu, logislah jika di dunia lalu terdapat dua macam keadaan di antara
negara-negara yang ada yaitu: negara yang keadaanya cukup makmur dan tidak
terlalu terpengaruh oleh perang dunia yang baru selesai, dan sisanya, sejumlah
negara baru yang kelak disebut sebagai negara terbelakang (underdeveloped),
kurang maju (less developed), atau sebutan yang lebih halus “negara yang sedang
berkembang” (developing countries) (Siagian, 1990:20).[9]
Negara-negara
yang baru merdeka tadi, harus terbebas dari lingkaran setan kemiskinan yang
mana ciri dari lingkaran setan kemiskinan adalah tidak mempunyai industri
karena miskin, dan karena miskin tidak mempunyai industri. Untuk keluar dari
lingkaran setan kemiskinan itu, negara memerlukan uang dan pengatahuan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan industrialisasi.
Sejak
itulah berkembang berbagai rencana pembangunan yang menjadi pegangan bagi
negara-negara yang baru merdeka tersebut, yang pada pokoknya mempunyai kesamaan
pula yaitu bertujuan untuk secapatnya mengejar ketertinggalan dari negara-negara
maju. Terutama karena didesak oleh keinginan untuk segera meraih kemakmuran,
dan juga bayangan pengalaman pahit sebagai negara terjajah, disamping baru
menyelesaikan perang untuk mendapatkan kemerdekaan masing-masing. Pada umumnya
negara-negara baru inipun tanpa sadar memimpikan suatu jalan pintas untuk
membangun negaranya. Di Indonesia misalnya, pada tahun 1956-1960 telah
merencanakan Pembangunan Lima Tahun, tahun1961-1968 diusahakan pula rencana
Pembangungan Nasional Semesta Berencana (Bintoro, 1987 : 3.36).[10]
Tetapi dalam kenyataanya semua rencana ini tidak pernah dapat direalisasikan
karena berbagai alasan. Alasan yang utama adalah situasi politik dan ekonomi
yang tidak stabil yang sangat mempengaruhi pelaksanaan suatu rencana. Akibatnya
sebelum berakhir, tahun rencana maka rencana itu diganti dengan rencana yang
lain. Akhirnya, yang dijalankan oleh pemerintah adalah rencana proyek demi
proyek.
Negara-negara
baru merdeka kebanyakan tidak begitu cermat dalam mempertimbangkan perbedaan
latar belakang sosio-kultural mereka dengan negara-negara maju. Padahal,
perbedaan tersebut sesungguhnya tidak memungkinkan negara baru tadi untuk
sepenuhnya menempuh langkah dan tahapan yang persis seperti yang telah dijalani
oleh negara maju dalam mencapai kemakmuran. Bahkan, ada kecenderungan
negara-negara yang baru merdeka tersebut mempunyai keyakinan bahwa masalah
keterbelakangan atau ketertinggalan dapat diatasi dengan penerapan sistem
ekonomi dan politik yang ada di barat ( Zulkarimein, 1996:24). Keyakinan ini muncul
didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan yang terdapat adalah dalam hal derajat
ketimbang jenis pembangunan itu sendiri. Padahal, paradigma pembangunan yang
berlaku pada masa itu yang juga dikenal sebagai Paradigma Modernisasi,
memandang pembangunan sebagai suatu persepektif yang unlinear dan bersifat
evolusioner.
Jarak
antara negara kaya dengan negara baru berkembang itu hendaknya dijembatani
melalui pembangunan yang diartikan sebagi suatu proses peniruan (imitative
process) dalam tahapan-tahapan yang begitu rupa, sehingga secara bertingkat
(gradual) pula sektor-sektor yang ada maupun negaranya sendiri pada masyarakat
yang baru berkembang maupun pada masyarakat yang tradisional akan memiliki
“kualitas” yang modern.
Adapun
model pembangunan yang dibutuhkan oleh dunia ketiga atau negara berkembang
menurut Schramm yang dikutip oleh Zulkarimein (1996:26) adalah suatu
pembangunan yang penekanannya lebih pada suatu rangkaian (seri) model nasional
yang dibuat oleh bangsa yang bersangkutan yang (1) didasarkan pada pemahaman
yang menyeluruh mengenai kebutuhan nasional, (2) bergerak pada kecepatan berapa
saja yang layak, (3) diarahkan menuju apa yang dipersepsikan oleh negara yang
bersangkutan sebagai tujuannya.
D.
Dampak Industrialisasi
Industrialisasi
yang makin intens di samping telah membawa kemajuan-kemajuan yang diharapkan
juga membawa dampak yang cukup menggoncangkan.
1. Dari segi ekonomi industrialisasi diatas
dapat disimpulkan memacu kesenjangan. Kesenjangan itu disebabkan oleh
pertumbuhan yang cepat di sektor industri tidak dibarengi penyerapan kerja.
Kebutuhan kapital per unit produk meningkat sehingga menyerap sumber kapital
yang langka bagi negara sedang berkembang. Kesenjangan lain disebabkan secara
fungsional perolehan tenaga kerja (buruh) dibanding pemilik modal (uang, skill,
managerial) tidak seimbang.
2. Kesenjangan tersebut telah atau bisa
mengarah pada instabilitas yang selama ini selalu dijaga. Kerawanan tersebut
misalnya terlihat pada huru-hara buruh di Medan, Jakarta dan tempat-tempat
lainnya.
3. Ekonomi yang semakin eliter juga
dirasakan karena sektor-sektor modern yang terangkum dalam kebijakan
industrialisasi bagaimanapun hanya menyangkut 10 sampai 20 % rakyat. Sisanya
merupakan penonton yang asing atau terasing.
Dampak industrialisasi yang lain
adalah apa yang disebut dengan ekses-ekses negatif dari modernisasi. Agama
seringkali berhadapan secara diametral.
Rostow mengemukakan bahwa prasyarat
tinggal landas (industrialisasi) adalah adanya empat kekuatan yaitu renaisans,
kerajaan baru, agama baru, dan dunia baru (M.L. Jinggan, 1988: 180). Yang
dimaksud agama baru dalam hal ini merujuk pada perubahan-perubahan sikap
keagamaan yang terjadi pada masyarakat barat bersamaan dengan intensitas
industrialisasi, termasuk didalamnya hubungan-hubungan dan fungsi keluarga dan
anggotanya (P. Wirotomo, 1991).
Industrialisasi yang tujuan
utamanya adalah menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan standar hidup
sebenarnya bisa menjadi kekuatan yang mampu meningkatkan intensitas penghayatan
keberagaman jika industrialisasi dipahami sebagai upaya untuk menyejahterakan
umat. Dalam konteks ini industrialisasi tidak hanya diletakkan dalam dimensi
keduniawian semata, tetapi harus merupakan bagian dari dimensi religiusitas dan
keseimbangan hakikat kehidupan dalam arti hubungan antara manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Esensi ini diperlukan karena
berdasarkan realitas sering terjadi benturan antara teologi dengan masyarakat
industri yang makin intens cenderung terjadi keretakan keluarga, hubungan seks
diluar nikah, dan lain sebagainya. (Lihat Nasikun ,1991;Wirotomo, 1991).[11]
IV.
KESIMPULAN
Modernisasi dapat diartikan
sebagai proses perubahan dari corak kehidupan masyarakat yang “tradisional”
menjadi “modern”, Istilah modern berasal dari kata “modo” yang artinya “yang
kini” (just now). Dengan demikian masyarakat dinyatakan modern apabila para
warganya hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak,
teknologi serta organisasi sosial yang baru, yang sesuai dengan konstelasi
zaman sekarang.
Pengertian industri itu sangat luas,
yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya
produktif dan komersial. Karena merupakan kegiatan ekonomi yang luas maka
jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya,
makin maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, maka
makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan
dan usaha tersebut.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun, semoga
dapat bermanfaat khususnya bagi pemakalah dan umumnya bagi pembaca. Namun kami
sadar sebagai manusia biasa pasti ada kekurangan dan kekeliruan yang belum
disadari. Maka dari itu kritik dan saran yang kontruktif dari pembaca sangat
kami harapkan, untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Kurang lebihnya kami
mohon maaf dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Schoorl, J. W. Modernisasi:
Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. Jakarta:
Gramedia. 1981
Sutrisno, Nandang. Pemajuan
Kepentingan Negara-Negara Berkembang dalam Sistem WTO. Cianjur: IMR Press.
2012
Thoyibi, Moh. Teologi
Industrialisasi. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 1995
Http://smile-rawa.blogspot.com/2007/10/industrialisation-and-social-change.html
diakses pada tanggal 4 Juni 2013
[1] J. W. Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Gramedia, 1981, hal. 1
[2] Ibid, hal. 15
[3] Ibid, hal. 256
[4]http://smile-rawa.blogspot.com/2007/10/industrialisation-and-social-change.html diakses pada tanggal 4 Juni 2013.
[5]Moh. Thoyibi, Teologi Industrialisasi, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 1995, hal.
50
[6]Ibid, hal. 52
[7]Ibid, hal. 71
[8]Ibid, hal. 81
[9]Nandang Sutrisno, Pemajuan Kepentingan Negara-Negara Berkembang
dalam Sistem WTO, Cianjur: IMR Press, 2012, hal. 9
[10]Ibid, hal. 10
[11] Moh.
Thoyibi, Teologi Industrialisasi,
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1995, hlm. 37-38
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar