rowi hadis dan gelar-gelarnya



ROWI HADIS
DAN GELAR-GELARNYA

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ulumul hadist
Dosen Pengampu : Safrodin, M. Ag.




logo.png
 






Disusun Oleh :

Rikha Makhsunah                            (121111082)


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2013




 


I.                   PENDAHULUAN
Pembahasan tentang para rawi merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengetahuan akan derajat hadis, yakni sahih, hasan, dhaif, dapat diterima atau ditolaknya suatu hadis. Oleh karena itu, pembahasan tentang para rawi menjadi teramat penting dalam musthalah al-hadis. Ilmu tentang rawi ini semakin sulit lantaran ia menyentuh tentang segala hal yang berkaitan dengan rawi. Sebab kadang kala nama seorang rawi itu sama dengan nama rawi lain, atau kunyah-nya yang sama, atau seorang rawi hanya di kenal dengan kunyah-nya semata-mata sehingga perlu diketahui nama aslinya, nasabnya, atau sukunya, agar jelas siapa dia yang sebenarnya, dan sebagaimana.[1]
Para ulama hadits amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki. Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadits atau berita tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian rawi
B.     Sejarah rawi
C.     Syarat menjadi rawi
D.    Gelar bagi perawi

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian rawi
Rawi menurut bahasa berasal dari kata riwayah yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja rawa-yarwi, yang berarti “memindahkan atau meriwayatkan”. Jadi rawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
Secara definisi, kata riwayah adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangakaian periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat (rawi), tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Demikian pula halnya dengan orang yang menyampaikan hadits yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika ia menyampaikan hadits itu, ia tidak menyebutkan rangkaian para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.
Yang dimaksud dengan rawi ialah: “orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang(gurunya)”.[2]
الّرَوِي مَنْ تَلَقَي الحَدِيْثَ وَاَدَّاه بِصِيْغَةٍ مِنْ صِيَغِ الأَدَاءِ

“rawi adalah orang yang menerima hadis dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya”.[3]
Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya. Para ulama mengklasifikasikan para Rawi dari segi banyak dan sedikitnya hadits yang mereka riwayatkan serta peran mereka dalam bidang ilmu hadits-- menjadi beberapa tingkatan.
Jadi, ada 3 unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits yakni:
1.      Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits.
2.      Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain.
3.      Ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.

B.     Sejarah rawi
Sejarah (tarikh) menurut muhadditsin adalah pengetahuan tentang waktu yang erat kaitannya dengan kelahiran dan kematian seseorang beserta peristiwa-peristiwa yang mempunyai nilai penting, yang terjadi sepanjang waktu itu, yang darinya tersirat bsejumlah pelajaran yang bisa digunakan untuk ta’dil.
Tema ini merupakan pondasi bagi kajian historis para rawi, karena ia berpihak pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para rawi sepanjang hidup mereka. Bagi ahli hadis sejarah memiliki kedudukan yang amat penting untuk mengetahui sejauh mana bersambung dan terputusnya suatu sanad untuk mengungkap karakteristik para rawi serta menyingkap tabir para pendusta.
Sufyan al-tsaur berkata,”ketika para rawi banyak melakukan dusta, maka kami mengantisipasinya dengan menggunakan sejarah.” Hafsh bin ghiyats berkata,”bila kamu menemukan suatu kecurigaan pda seorang rawi, maka perhitungkanlah ia dengan tahun.”yakni hitunglah umurnya dan umur orang ia riwayatkan.
Afin bin mi’dan al-kala’i berkata,”suatu datang kepadaku umar bin musa himsh, lalu kami berkumpul di masjid. Kemudian berkata, ’telah meriwayatkan hadis kepadaku gurumu yang saleh.’ Setelah ia bicara banyak, maka saya tanya kepadanya,’ siapa yang anda maksud sebagai guru kami yang saleh itu? Sebutkanlah namanya agar kami mengetahuinya! ‘namanya adalah khalid bin mid’an,’ jawabnya. Aku bertanya lagi, ‘tahun berapa anda bertemu dengannya?’ ‘pada tahun 108 H.’ Di mana anda bertemu?’ desaku. ‘di pegunungan armenia.’ Kemudian aku berkata, ‘bertakwalah kepada Allah, ya syeh! Dan jangan berdusta’ khalid bin mi’dan itu telah wafat pada tahun 104 H, dan anda mengaku bertemu dengannya empat tahun setelah ia wafat. ”
Oleh karena itu ulama menekankan kepada para penuntut ilmu hadis agar terlebih dahulu menguasai sejarah dan mengetahui tahun wafatnya para guru hadis, mengingat ia termasuk cabang ilmu hadis yang paling penting. Lebih-lebih yang berkaitan dengan Rosulullah saw, para sahabat senior, dan para tokoh agama. Dengan demikian, maka tidak seorang muslim pun layak mengabaikannya, apalagi para penuntut ilmu hadis. Ini karena orang yang seandainya terpaut dan berminat dengan suatu disiplin ilmu tertentu, maka hatinya pasti juga berminat dengan segala sesuatu yang mengantarkannya.dan seorang muslim lebih layk bersikap sedemikian.
Diantara kitab tarikh para rawi yang paling besar:
1.      Al-tarikh al-kabir karya imam al-bukhari. Kitab ini membahas identitas dan karakteristik setiap rawi dengan cukup ringkas, meliputi penjelasan tentang nama guru-guru dan murid-muridnya, kadang-kadang mengungkap jarh wa al-ta’dil-nya namun banyak sekali tidak mengungkapkannya. Kitab ini telah dicetak dalam delapan jilid.
2.      Al-tarikh karya ibnu abi khaitsamah, sebuah kitab yang besar. Ibnu al-shalah berkata, “sungguh melimpah faidah kitab ini.”
3.      Masyahir ‘ulama al-amshar karya abu hatim muhammad bin hibban al-busti. Kitab ini membahas tarikh setiap rawi dengan sangat ringkas, hamya dengan dua atau tiga baris saja. Setiap rawi dilengkapi dengan tahun wafatnya. Dan kitab ini telah dicetak dalam dua jilid.[4]
Nama-nama perawi hadits bukhari, yang meninggal tahun 256 Hijriah atau 870 Masehi:
1.      Nasa'i, meninggal tahun 303 Hijriah atau 915 Masehi.
2.      Abu Daud, meninggal tahun 275 Hijriah atau 888 Masehi.
3.      Muslim, meninggal tahun 261 Hijriah atau 875 Masehi.
4.      Tarmidzi, meninggal tahun 279 Hijriah atau 892 Masehi.
5.      Ibnu Majah, meninggal tahun 279 Hijriah atau 892 Masehi

C.    Syarat menjadi rawi
Karena hadits Nabi saw sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula, Para ulama hadits amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki. Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadits atau berita tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini.
Ada beberapa syarat pokok perawi hadits:
1.      Baligh, artinya sudah cukup umur ketika meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecil waktu menerima hadits itu. Karenanya tidak diterima riwayat anak-anak yang belum sampai umur, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim dari Umar dan Ali yaitu: “ diangkat kalam dari tiga orang: dari orang yang gila, yang digagahi akalnya hingga dia sembuh, dari orang tidur sehimgga dia bangun, dari anak sehingga dia dewasa”.
Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dan pengertian. Dikehendaki dengan sampai umur, ialah sampai umur dengan berakal. Para mutaakhirien mensyaratkan baligh (sampai umur) dan umur. Para mutaqaddimien mensyarahkan akal saja. Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anaka kecil menjadi wali terhadap dirinya dalam urusan keduniaan, maka dalam masalah urusan eakhiratan tentulah lebih utama.
2.      Muslim, yaitu beragama Islam waktu menyampaikan hadits. Karenanya tidak dapat diterima riwayat oranbg kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat orang asik sebagai yang diterangkan dalam al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 6.

يَأُيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَومًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Wahai orang-orang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik yang membawa sesuatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum kerana kebodohan(kejahilan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
3.      Keadilan. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu harus seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, selamat dari cemarnya muru’ah (sopan santun).
Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal:
a.       Bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya.
b.      Bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barang siapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i.
Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil hingga jelas (dijumpai adanya) jarh (cacat). Beliau beragumen dengan dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” (HR. Ibnu ‘Adi dalam kitab Al-Kamil)
Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak bisa men-shahih-kannya sebab makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru ada juga orang-orang yang tidak adil mengembannya.
4.      Dlabith. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu tidak menyelisihi dengan rawi tsiqah, hafalannya tidak buruk, tidak parah kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaannya.
Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah.
5.      Tidak syadz, artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat atau dengan Al-qur’an.
Ulama hadits dari kalangan mutaqadimin (ulama hadits sampai abad ke-3 H) mengemukakan persyaratan yang tertuju kepada kualitas dan kapasitas perawi sebagai berikut :
a.       Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqah.
b.      Orang yang akan meriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya, perilaku dan keadaan dirinya. Apabla shalat, prilaku dan keadaan orang itu tidak baik, riwayat haditsnya tidak diterima.
c.       Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya.
d.      Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Sedangkan kualitas rawi terbagi ke dalalm Sembilan tingkatan yaitu:
1)      Perawi yang mencapai derajat yang paling tinggi baik mengenai keadilan maupun mengenai ke-dhabith-nya.
2)      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat ke-dhabith-an yang menengah
3)      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajajt ke-dhabith-an yang paling rendah
4)      Perawi yang derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabithan ynag paling tinggi
5)      Perawi yang mencapai derajat menengah dalam keduanya.
6)      Perawi ynag mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabith-an yang paling rendah
7)      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling renda dan derajat ke0dhabith-an yang paling tinggi
8)      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajajt ke-dhabith-an yan menengah
9)      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dalam hal keduanya.

D.    Gelar bagi perawi
Para ulama mengklasifikasikan para rawi dari segi banyak dan sedikitnya hadits yang mereka riwayatkan serta peran mereka dalam bidang ilmu hadits menjadi beberapa tingkatan. Dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu:
1.      Al-Musnid, adalah orang yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya, baik ia mengetahui kandungan hadits yang diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan tanpa memahami isi kandungannya.
2.      al-Muhaddits. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sayyid an-Nas, al-Muhaddits adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap hadits, baik dari segi riwayah maupun dirayah, hafal identitas dan karakteristik para rawi, mengetahui keadaan mayoritas rawi di setiap jamannya beserta hadits-hadits yang mereka riwayatkan, tambahan dia juga memiliki keistimewaan sehingga dikenal pendiriannya dan ketelitiannya. Dengan kata lain ia menjadi tumpuan pertanyaan umat tentang hadits dan para rawinya, sehingga menjadi masyhur dalam hal ini dan pendapatnya menjadi dikenal karena banyak keterangan yang ia sampaikan lalu ditulis oleh para penanyanya. Ibnu al-Jazari berkata, "al-Muhaddits adalah orang menguasai hadits dari segi riwayah dan mengembangkannya dari segi dirayah."
3.      al-Hafidh, secara bahasa berarti 'penghapal' Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddits. Para ulama menjelaskan bahwa al-Hafidh adalah gelar orang yang sangat luas pengetahuannya tentang hadits beserta ilmu-ilmunya, sehingga hadits yang diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya. Ibnu al-Jazari berkata, "al-Hafidh adalah orang yang meriwayatkan seluruh hadits yang diterimanya dan hapal akan hadits yang dibutuhkan darinya."
4.      al-Hujjah, gelar ini diberikan kepada al-Hafidh yang terkenal tekun. Bila seorang hafidh sangat tekun, kuat dan rinci hapalannya tentang sanad dan matan hadits, maka ia diberi gelar al-Hujjah. Ulama mutaakhkhirin mendefinisikan al-Hujjah sebagai orang yang hapal tiga ratus ribu hadits, termasuk sanad dan matannya. Bilangan jumlah hadits yang berada dalam hapalan ulama, sebagaimana yang mereka sebutkan itu, mencakup hadits yang matannya sama tetapi sanadnya berbilang; dan yang berbeda redaksi/matannya. Sebab, perubahan suatu hadits oleh suatu kata--baik pada sanad atau pada matan--akan dianggap sebagai suatu hadits tersendiri. Dan seringkali para muhadditsin berijtihad dan mengadakan perlawatan ke berbagai daerah karena adanya perubahan suatu kalimat dalam suatu hadits seperti itu.
5.      al-Hakim, adalah rawi yang menguasai seluruh hadits sehingga hanya sedikit saja hadits yang terlewatkan.
6.      Amir al-Mu'minin fi al-Hadits adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada orang yang kemampuannya melebihi semua orang di atas tadi, baik hapalannya maupun kedalaman pengetahuannya tentang hadits dan 'illat-'illatnya, sehingga ia menjadi rujukan bagi para al-Hakim, al-Hafidh, serta yang lainnya. Di antara ulama yang memiliki gelar ini adalah Sufyan ats-Tsawri, Syu'bah bin al-Hajjaj, Hammad bin Salamah, Abdullah bin al-Munarak, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, dan Muslim. Dan dari kalangan ulama mutaakhkhirin ialah al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani dan lainnya. Jadi yang menjadi ukuran tingkat keilmuan para ulama hadits adalah daya hapal mereka, bukan banyaknya kitab yang mereka miliki, sehingga orang yang memiliki banyak kitab namun tidak hapal isinya, tidak dapat disebut sebagai al-Muhaddits.[5]

IV.             KESIMPULAN
Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya. Para ulama hadits amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang bisa saya sampaikan. Tentunya dari makalah ini masih terdapat kekurangan yang perlu di benahi, oleh karenanya saran dan kritik yang membangun dari bapak dosen dan audien  sangat saya harapkan guna memperbaiki karya selanjutnya. Atas perhatian dan partisipasinya kami sampaikan terimakasih.







DAFTAR PUSTAKA

Ismail, M. Suhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.
Nuruddin, Ulumul Hadis, Damaskus: Dar al- Fikr, 2012.
http://blog.re.or.id/gelar-keahlian-bagi-imam-imam-perawi-hadis.htm


[1] Nuruddin, Ulumul Hadis, Damaskus: Dar al- Fikr, 2012, hal:65
[2] M. Suhudi ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991, hal:17
[3] Op cit, hal:61
[4] Ibid, hal:127
[5] Ibid, hal:37

0 komentar:

Posting Komentar